Adakah Udzur Bagi Orang Yang Tidak Tahu?
Siapa saja yang beribadah kepada berhala berarti orang tersebut telah berbuat syirik. Oleh karena itu, orang tersebut dihukumi sebagai orang kafir, keluar dari agama Islam. Konsekuensinya orang tersebut berhak untuk dibunuh sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Akan tetapi jika orang tersebut ternyata tidak mengetahui hukum beribadah kepada berhala, dia menyangka bahwa menyembah berhala adalah ibadah yang diperbolehkan, masihkah dia dikategorikan sebagai orang kafir? Ataukah dia mendapat toleransi hukum dikarenakan ketidaktahuannya, sehingga dia tidak dihukumi sebagai orang kafir?
Permasalahan al ‘udzru bil jahl atau toleransi hukum (udzur) terhadap orang yang jahil (tidak mengetahui hukum) merupakan pembahasan yang cukup urgen, sebab masalah memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan insan sehari-hari. Di samping pembahasan ini juga memiliki berbagai macam konsekuensi hukum serta sikap terhadap orang yang mendapat udzur atau tidak. Oleh karena itu, permasalahan ini membutuhkan penjelasan dan pembahasan agar umat Islam tidak keliru dalam menerapkannya. Sebab ada sebagian orang yang begitu toleran dalam hal ini, sehingga pelanggaran apa pun yang diperbuat oleh seorang muslim dianggap sebagai pelanggaran yang tidak menyebabkan kekafiran. Di sisi lain ada sebagian orang yang justru berlebihan, sehingga siapa pun yang melanggar kewajiban agama maka seketika itu dihukumi kafir. Semoga pembahasan singkat ini bermanfaat bagi penulis pribadi dan juga bagi umat Islam pada umumnya.
Pokok Permasalahan
Sebelum kita jauh membahas permasalahan ini, perlu diketahui bahwa para ulama mengklasifikasikan syariat Islam menjadi dua: dzahir (nampak/jelas) dan khafiy (samar/tersembunyi)[1]. Meskipun ada ulama lain yang memberikan pembagian dengan istilah yang sedikit berbeda, akan tetapi maknanya hampir sama[2].
Perbedaan Antara Perkara yang dzahir dan yang khafiy [3]
Yang dimaksud dengan perkara yang dzahir adalah setiap permasalahan Islam yang memiliki kriteria sebagai berikut:
- Perkara tersebut sudah diketahui secara seksama bahwasanya ia termasuk bagian dari agama Islam. Sehingga hampir setiap muslim yang berakal pasti mengetahuinya.
- Perkara tersebut berdasarkan pada dalil yang muhkam (pasti). Artinya tidak ada syubhat atau pun salah takwil di dalamnya.
- Permasalahan tersebut sudah menjadi konsensus (ijma’) kaum muslimin serta tercantum dalam nash Alquran ataupun As-Sunnah.
- Tidak adanya alasan bagi umat Islam untuk tidak mengetahuinya.
Contoh dari perkara-perkara yang dikategorikan sebagai perkara dzahir adalah: perintah untuk beribadah hanya kepada Allah, tentang kesyirikan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam (syirik besar, seperti: beribadah kepada kuburan, berdoa kepada selain Allah dll), kewajiban menunaikan rukun Islam (shalat, zakat, puasa, serta haji).
Sedangkan yang dimaksud dengan perkara khafiy adalah perkara yang memiliki kriteria sebagai berikut:
- Syariat tersebut kurang familiar di kalangan sebagian besar kaum muslimin.
- Adanya syubhat yang menyertai landasan (dalil) perkara tersebut
- Adanya alasan (udzur) yang menghalangi seorang muslim untuk mengenali perkara tersebut. Misalnya, karena orang tersebut baru masuk agama Islam, atau faktor domisili di tempat terpencil sehingga tidak banyak syariat Islam yang sampai di situ. Yang juga termasuk udzur adalah peliknya permasalahan tersebut bagi kebanyakan kaum muslimin, atau dalam memahami permasalahn tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahlussunnah sejak zaman dahulu.
Contoh permasalahan yang dikategorikan sebagai perkara khafiy seperti; rincian nama dan sifat Allah, atau ideologi kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, dsb.
Adakah Udzur Bagi Orang Yang Tidak Tahu?
Dalam hal ini perlu dirinci,
Pertama
Jika udzur yang dimaksud di sini adalah udzur dalam perkara-perkara yang khafiy, maka syariat memberikan udzur kepada orang yang jahil dalam perkara khafiy. Artinya jika ada umat Islam yang menentang sebagian syariat Islam, atau melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam yang disebabkan karena faktor ketidaktahuan, maka ia tidak serta merta dikafirkan selama perkara yang ia langgar adalah perkara-perkara yang khafiy. Sebab hampir tidak ada satu orang pun dari umat Islam yang bisa menguasai seluruh disiplin ilmu dalam agama Islam secara terperinci. Itu artinya setiap orang pasti memiliki kekurangan, ada sebagian syariat Islam yang tidak ia ketahui.
Oleh karena itu Islam memberikan keringanan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
“Jika seorang hakim telah mengerahkan seluruh upayanya untuk menenentukan sebuah hukum kemudian ternyata ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia keliru maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR. Bukhari: 5352 dan Muslim: 1716)
Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa orang sekaliber hakim (mujtahid) pun masih memiliki kemungkinan untuk keliru, terlebih lagi bagi orang awam. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringan kepada mereka. Mereka tidak dijatuhi sangsi atas kekeliruan yang disebabkan faktor ketidaktahuan seperti ini. Bahkan tatkala kekeliruan itu dilakukan oleh orang yang berijtihad, Allah masih memberikan apresiasi terhadap ijtihadnya sekalipun ijtihad tersebut keliru.
Di antara dalil lain yang menunjukkan adanya udzur bagi orang yang jahil dalam perkara khafiy adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286)
Allah tidak akan membebani hambanya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya. Oleh karena itu Allah tidak membebani hamba-Nya dengan amalan yang tidak ia ketahui, sebab mengerjakan amalan yang tidak diketahui termasuk perkara yang diuar kemampuan.
Bukti lain yang mengisyaratkan adanya udzur bagi orang yang jahil dalam perkara khafiy adalah kisah dalam hadis,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اطْحَنُونِي ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ فَوَاللهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي (لَئِنْ قَدَرَ اللهُ عَلَيَّ) لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ فَأَمَرَ اللهُ الْأَرْضَ فَقَالَ اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ فَفَعَلَتْ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ فَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ فَغَفَرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pada zaman dahulu ada seorang laki-laki yang selalu berbuat dosa. Tatkala ia akan menjemput kematian, ia berpesan kepada anak-anaknya, ‘Jika aku telah mati, maka bakarlah jenazahku, lalu tumbuklah arang jenazahku dan taburkan abunya (di laut, menurut lafal Muslim) pada saat angin bertiup kencang. Demi Allah, jika Allah mampu membangkitkan diriku, tentulah Rabb-ku akan menyiksaku dengan siksaan pedih yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun.”
Ketika orang itu mati, pesannya dilaksanakan oleh anak-anaknya. Maka Allah memerintahkan kepada bumi, “Kumpulkanlah abu jenazahnya yang ada padamu!” Bumi pun melaksanakan perintah Allah, sehingga laki-laki itu pun kembali berdiri secara utuh. Allah bertanya, “Kenapa kamu melakukan tindakan seperti itu?” Laki-laki itu menjawab, “Wahai Rabb-ku, karena rasa takutku kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni laki-laki itu”. (HR. Bukhari no. 3481 dan Muslim no. 2756)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadis ini jelas-jelas menunjukkan bahwa orang ini yakin bahwa ia tidak akan dibangkitkan jika wasiatnya dilaksanakan. Atau mungkin juga lebih parah dari itu ia ragu dengan adanya hari berbangkit, tentu ini adalah kekufuran. Jika ada orang yang mengingkarinya sedangkan hujah sudah ditegakkan, maka ia bisa dhukumi kafir…
Akan tetapi dalam kasus ini, orang tersebut tidak mengetahui sifat-sifat Allah secara menyeluruh, termasuk juga ia tidak mengetahui sifat qudrah (kemampuan) Allah secara terperinci. Banyak kaum muslimin yang hal-hal semacam ini, oleh karena itu ia tidak dihukumi kafir”[4].
Kedua
Jika udzur yang dimaksud di sini adalah udzur dalam perkara-perkara yang dzahir, maka tidak ada udzur/alasan dalam hal ini. Orang yang melakukan kekufuran dalam perkara yang sudah jelas (dzahir) maka orang tersebut dihukumi sebagai kafir, meskipun ia punya alibi dengan mengatakan ‘saya tidak tahu’. Orang yang menyembah kuburan misalnya, ia adalah orang musyrik kafir meskipun ia beralasan ‘tidak tahu’. Sebab mengesakan Allah dalam ibadah adalah perkara yang dzahir. Ada banyak dalil yang menunjukkan akan hal ini. Di antaranya adalah:
- Firman Allah Ta’ala,
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.” (QS. An Nisa: 165)
Ayat ini adalah dalil paling jelas yang menunjukkan bahwa Allah tidak akan menerima alasan orang mengatakan ‘tidak tahu’ setelah Dia mengutus para Rasul-Nya serta menurunkan kitab-Nya. Sebab dengan diutusnya rasul dan diturunkannya kitab, maka berarti saat itu pula hujah sudah tegak.
Imam Ibu Katsir mengatakan, “Allah telah mengutus rasul-Nya dan telah menurunkan kitabnya… agar tidak ada lagi udzur bagi orang yang meminta toleransi”[5].
Syaikh Sulaiman bin Sahman mengatakan, “Setiap orang yang melakukan kekufuran dengan perbuatan yang sudah makruf di dalam syariat Islam, semisal beribadah kepada selain Allah, maka Allah telah menegakkan hujah dengan menurunkan wahyu serta mengutus rasul. Yang demikian itu agar tidak ada lagi alasan (tidak tahu) bagi manusia”[6]. - Firman Allah Ta’ala,
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui kebenaran, karena itu mereka berpaling” (QS. Al Anbiya’: 24)
Ayat ini menyatakan bahwa kebanyakan kaum musyrikin tidak menngetahui kebenaran. Namun demikian kejahilan mereka ini tidak bisa dijadikan alasan/udzur bagi mereka, sehingga status mereka tetap kafir meskipun mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui.
Imam Ibnu Katsir mengatakan tatkala menafsirkan firman Allah yang artinya, “akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Yusuf: 40) Beliau mengatakan, “Karena kebodohan inilah kebanyakan mereka adalah musyrik.” - Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
والذي نفسي محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya!! Tidaklah seorang dari umat ini, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentangku kemudian ia tidak beriman dengan syariat yang aku bawa kecuali pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim: 153).
Dalam hadis ini Rasulullah shalllahu ‘alihi wasallam tidak memberikan udzur kepada siapa pun yang mendengar tentang beliau. Dengan kata lain, hujah dalam perkara-perkara dhahir sudah dianggap tegak hanya dengan mendengar kerasulan beliau[7].
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang masalah ini cukup banyak. Akan tetapi barangkali beberapa dalil di atas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa klaim ‘tidak tahu’ bukan termasuk klaim yang bisa menghalangi vonis kafir dalam perkara-perkara dzahir.
Perkataan Para Ulama Dalam Permasalahan Ini
- Imam Abu Hanifah mengatakan, “Tidak ada udzur bagi orang yang jahil (tidak tahu) dalam hal ma’rifatullah (mengenal Allah). Karena mengenal Rabb serta mengesakan-Nya adalah kewajiban setiap hamba. Adapun dalam kewajiban-kewajiban (yang lain), maka orang yang jahil atau belum sampai ilmu kepadanya dianggap belum tegak hujjah atasnya”[8].
- Imam Al Qarafi Al Maliki pernah mengomentari doa-doa buatan orang sufi, dan di dalam doa-doa tersebut terdapat kalimat-kalimat syirik yang bisa mengakibatkan pelakunya menjadi kafir. Beliau mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya ketidaktahuan terhadap akibat dari doa-doa ini, tidak menjadi udzur di sisi Allah. Sebab kaidah-kaidah syar’i jelas menunjukkan bahwa setiap perkara yang mungkin untuk ditolak oleh seseorang, maka perkara tersebut tidak bisa dijadikan udzur di sisi Allah”[9].
- Tatkala menjelaskan tercelanya ilmu kalam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dan (pengingkaran) ini jikalau sekadar dalam syariat-syariat yang khafiy, maka cukup kita katakan bahwa pelakunya sekadar tersalah, tersesat dan belum tegak hujjah atasnya.Akan tetapi perkaranya ternyata tidak demikian. Ternyata syariat yang diingkari oleh kelompok-elompok mereka adalah perkara-perkara yang dzahir yang sudah dimengerti oleh umumnya kaum muslimin bahwasanya perkara tersebut adalah bagian dari Islam. Bahkan sampai pun orang Yahudi dan Nasrani juga tahu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus dengan membawa syariat tersebut dan bahwa beliau akan mengkafirkan orang yang menyelisihinya”[10].
- Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan, “Orang jahil yang hidup di negara Islam mendapatkan udzur dalam perkara-perkara khafiy (samar) yang membutuhkan penjelasan. Adapun dalam perkara-perkara yang sudah jelas (zhahir), misal: tauhid dan kesyirikan, serta perkara-perkara haram yang sudah jelas seperti: zina, riba, bangkai, daging babi, sembelihan untuk selain Allah, atau perkara lain yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka dalam hal ini tidak ada lagi udzur bagi orang yang mendengar Alquran dan As Sunnah”[11].
Kapan Seorang Muslim Mendapat Udzur Dalam Perkara Zhahir?
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa secara umum tidak ada udzur bagi orang yang jahil dalam permasalahan yang dzahir. Akan tetapi ada beberapa kondisi yang dikecualikan oleh para ulama, sehingga dalam kondisi tersebut seorang muslim mendapatkan udzur lantaran kejahilannya. Di antara kondisi yang dikecualikan tersebut adalah:
1. Muallaf yang baru saja masuk Islam
Adalah wajar jika orang yang baru saja masuk Islam tidak banyak tahu tentang Islam ajaran Islam, sampaipun pada perkara-perkara yang dzahir. Oleh karena itu mereka mendapatkan udzur dalam hal ini. Hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Abi Waqid Al Laitsi. Beliau mengatakan,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى حُنَيْنٍ ، وَنَحْنُ حَدِيثُو عَهْدٍ بِكُفْرٍ ، وَكَانُوا أَسْلَمُوا يَوْمَ الْفَتْحِ ، قَالَ : فَمَرَرْنَا بِشَجَرَةٍ ، فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ ، وَكَانَ لِلْكُفَّارِ سِدْرَةٌ يَعْكِفُونَ حَوْلَهَا ، وَيُعَلِّقُونَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يَدْعُونَهَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ ، فَلَمَّا قُلْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : اللَّهُ أَكْبَرُ وَقُلْتُمْ ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى : {اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ، قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ} لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain, sedangkan kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam), di saat itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang dikenal dengan Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon tersebut. Di saat kami sedang melewati pohon bidara tersebut, kami berkata, “Ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzat anwath sebagaimana mereka memilikinya.” Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjawab, “Allahu Akbar, itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian). Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan.’ Musa menjawab, ‘Sungguh kalian adalah kaum yang tidak mengerti’12, kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi: 2181)
Syaikh Muhammad Al Faqqi mengatakan, “Yang mereka minta bukan hanya sebatas syirik kecil. Kalaulah permintaan mereka masih dikategorikan sebagai syirik kecil niscaya Rasulullah tidak akan menyamakannya dengan perbuatan Bani Israil yang mengatakan, ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan.’ Bahkan kemudian Rasulullah menguatkan pernyataan ini dengan sumpah. Itu tandanya bahwa apa yang mereka minta adalah termasuk syirik besar sebagaimana perbuatan yang dilakukan Bani Israil juga termasuk syirik besar. Hanya saja dalam hal ini mereka tidak serta merta dikafirkan, sebab mereka baru saja masuk Islam. Di samping itu mereka juga belum melakukan perbuatan tersebut”[13].
2. Kondisi seseorang yang bertempat tinggal di daerah pelosok yang sangat terpencil
Sehingga tidak dijangkau oleh dakwah dan ia juga tidak bisa mencari ilmu. Jika orang tersebut terjerumus ke dalam perbuatan kufur karena faktor ‘tidak tahu’ maka orang tersebut tidak dihukumi kafir. Sebab ia memang tidak mampu untuk mendapatkan ilmu. Allah berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa mengingkari empat kewajiban (shalat, zakat, puasa dan haji) setelah tegak hujah atasnya maka dia kafir. Demikian pula siapa saja yang mengingkari hal-hal yang sudah jelas-jelas diharamkan, seperti: zina, aniaya dan dusta, maka ia pun juga kafir. Adapun bagi orang yang belum tegak hujjah atasnya lantaran baru masuk Islam misalnya, atau tinggal di daerah terpencil, maka tidak boleh langsung dikafirkan”[14].
Catatan Penting
Sebelum kami akhiri pembahasan ini perlu kiranya kami sertakan beberapa catatan yang saya anggap penting untuk diperhatikan.
- Para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah dalam memberikan vonis kafir. Ada keadaan-keadaan tertentu yang terkadang menyebabkan seseorang tidak boleh divonis kafir, meskipun secara lahiriyah orang tersebut melakukan perbuatan kufur. Di antara alasan yang menghalangi seseorang dari vonis kafir adalah: faktor tidak tahu/jahil, adanya unsur keterpaksaan, salah takwil, dsb.
Jika salah satu alasan (udzur) tersebut tidak ada (tidak diterima), bukan berarti orang tersebut langsung divonis kafir, sebab bisa jadi masih ada alasan lain yang bisa diterima. Selain itu, aplikasi dari takfir (vonis kafir) adalah penerapan hukum yang membutuhkan ijtihad, sehingga tidak boleh diterapkan secara serampangan. - Ada sebagian perkara yang kita ketahui termasuk dalam kategori perkara zhahir sebagaimana ada juga perkara-perkara yang kita ketahui termasuk dalam kategori perkara khafiy. Namun ada juga sebagian perkara yang barangkali tidak kita ketahui, apakah ia termasuk perkara yang dzahir ataukah khafiy. Maka dalam hal ini harus kita kembalikan kepada ahli ilmu (ulama).
Demikian pembahasan yang singkat ini, semoga bermanfaat.
Catatan Kaki
[1] Di antara para ulama yang menyebutkan klasifikasi ini adalah Ibnu Taimiyyah dalam majmu’ fatawa; 4/54 [2] Lihat pembahsan lebih detailnya dalam kitab ‘Aridhul Jahl; 41-43 [3] Ibid [4] Majmu’ Fatawa; 11/309-411 [5] Tafsir Ibnu Katsir; 1/588 [6] Adh Dhiya Asy Syariq, hal. 290-291 [7] Penjelasan lebih detail bisa dirujuk dalam fatawa lajnah daimah: 1/528-529 [8] Di riwayatkan oleh Kisani dalam Badai’us Shanai’; 9/4378 [9] Al I’lam Bi Qawathi’il Islam, hal. 76 [10] Majmu fatawa; 4/54 [11] Muqaddimah kitab ‘Aridhul Jahli, hal. 6 [12] QS. Al A’raf: 138 [13] Perkataan ini dinukilkan oleh penulis kitab ‘Aridhul Jahl, hal. 371 [14] Majmu’ Fatawa: 7/610Referensi Utama: Abul ‘Ula bin Rasyid (2008). ‘Aridhul Jahl. Riyadh: Penerbit Maktabatur Rusyd
—
Penulis: Agus Pranowo
Murajaah: Ust. Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A
Artikel Muslim.Or.Id
🔍 Waktu Yang Tepat Untuk Belajar Menurut Islam, Fiqih Dakwah, Kultum Tentang Idul Adha, Kesempurnaan Shalat
Artikel asli: https://muslim.or.id/19197-adakah-udzur-bagi-orang-yang-tidak-tahu.html